Perubahan regulasi selalu menjadi momen penting bagi dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Salah satu perkembangan terbaru adalah hadirnya Permendiktisaintek No. 39 Tahun 2025 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, yang menggantikan Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023.

Meskipun belum banyak dibicarakan secara luas pada saat artikel ini terbit, regulasi baru ini menandai pergeseran paradigma penting dalam tata kelola pendidikan tinggi, terutama pada aspek penjaminan mutu, kurikulum, dan orientasi internasionalisasi kampus.

Berdasarkan dokumen regulasi yang telah diunggah di situs resmi milik LLDikti III dan beberapa publikasi yang mengulasnya, terdapat poin krusial yang patut diperhatikan antara lain:

  1. Standar Mutu Melampaui SN Dikti
    Jika sebelumnya SN Dikti menjadi acuan minimum, kini kampus dituntut untuk menyusun standar internal yang melampaui SN Dikti, termasuk mengadopsi praktik dan akreditasi internasional.
  2. Kurikulum lebih fleksibel dan modular
    Regulasi baru menekankan fleksibilitas pembelajaran: rekognisi pembelajaran lampau (RPL) menjadi kewajiban, program micro-credential diakomodasi, serta jalur lintas prodi, lintas kampus, bahkan lintas negara semakin terbuka.
  3. Pemanfaatan teknologi secara masif
    Digitalisasi tidak lagi sebatas pelaporan ke PDDikti saja, namun perguruan tinggi dituntut mengembangkan platform digital untuk pembelajaran, penjaminan mutu, dan evaluasi berkelanjutan.
  4. Internasionalisasi jadi fokus utama
    Kolaborasi riset global, pertukaran mahasiswa, hingga program double degree menjadi arah penguatan daya saing lulusan di tingkat dunia.

Hal penting yang patut menjadi perhatian adalah adanya ketentuan peralihan. Dengan diberlakukannya Permendiktisaintek No. 39 Tahun 2025, secara resmi Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 dinyatakan dicabut dan tidak lagi berlaku. Regulasi baru ini memberikan waktu paling lama dua tahun bagi perguruan tinggi untuk menyesuaikan diri. Masa transisi tersebut menjadi ruang bagi kampus untuk menata ulang regulasi internal, memperbarui standar mutu, serta menyelaraskan kebijakan akademik dan tata kelola agar sesuai dengan ketentuan terbaru.

Bagi pimpinan dan pengelola perguruan tinggi, hadirnya regulasi baru ini membawa sejumlah implikasi strategis yang tidak bisa diabaikan. Pertama, kampus dituntut untuk memperkuat SPMI dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi yang lebih tinggi, sehingga proses evaluasi mutu tidak hanya bersifat administratif tetapi juga benar-benar berdampak pada peningkatan kualitas. Kedua, transformasi digital harus dipercepat. Jika sebelumnya pemanfaatan teknologi lebih banyak untuk administrasi dan pelaporan, kini digitalisasi juga menjadi bagian penting dalam pengelolaan kurikulum dan proses akreditasi.

Selain itu, arah internasionalisasi yang semakin ditekankan dalam regulasi ini membuka peluang baru bagi kampus untuk memperluas jejaring global, baik melalui riset bersama, program pertukaran, maupun kolaborasi akademik lintas negara. Namun, peluang ini juga menghadirkan tantangan besar, terutama dalam hal kesiapan sumber daya. Dosen dan tenaga kependidikan perlu dipersiapkan agar mampu beradaptasi dengan kurikulum yang lebih fleksibel, modular, serta mendukung rekognisi pembelajaran lampau dan micro-credential.

Kesadaran atas arah baru ini menjadi kunci. Bukan hanya untuk memenuhi kewajiban regulatif, tetapi juga untuk memastikan kampus tetap relevan, kompetitif, dan mampu menghasilkan lulusan yang siap menghadapi tantangan global.

Permendiktisaintek No. 39 Tahun 2025 menghadirkan babak baru penjaminan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Masa transisi dua tahun ke depan sebaiknya dimanfaatkan oleh perguruan tinggi untuk melakukan penyesuaian strategis. Kini saatnya kampus mulai bertanya:

Apakah sistem penjaminan mutu, kurikulum, dan tata kelola digital kita sudah siap menghadapi era baru ini?